Rabu, 04 Juni 2008

Guru Sukarelawan Bertahan dengan Gaji Rp 100.000 Per Bulan

Saya tertarik memasukan artikel dari Harian Kompas ini kedalam blogsite saya karena saya begitu terinspirasi dan tergerak dengan adanya manusia yang mau berkorban untuk bangsa dan negaranya ditengah himpitan konsumerisme dan kapitalisme, sehingga kita semakin tahu siapa pahlawan sebenarnya dinegara Indonesia tercinta ini dan siapa yang ingin bangkit dari keterbelakangan dan kebodohan di tengah euforia 100 tahun Kebangkitan Nasional......
Muksin sudah hampir tiga tahun mengabdi sebagai guru sukarelawan di
SDN Ciroyom, sebuah sekolah terpencil di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
bagian selatan. Gaji yang cuma Rp 100.000 per bulan tidak menjadi
penghalang.
Kerap muncul keinginan berhenti di benak pemuda berusia 22 tahun
itu. Namun, setiap kali pula muncul wajah anak-anak yang selama ini
diajarnya dan masa depan mereka. Ia pun kembali bersemangat.
Sekolah-sekolah di wilayah terpencil bergantung pada keikhlasan hati
para sukarelawan.
Menjadi guru sukarelawan di sekolah terpencil di Kampung Ciroyom
bukan perkara enteng. SDN Ciroyom terletak di Kampung Ciroyom,
Kecamatan Cibitung, Kabupaten Sukabumi. Kampung yang tak jauh dari Laut
Selatan Jawa itu belum dialiri listrik. Sebagian besar warga kampung
merupakan buruh tani atau penyadap nira kelapa.
Di SDN Ciroyom terdapat empat guru sukarelawan dan tiga guru berstatus pegawai negeri sipil, termasuk kepala sekolah.
Selain honor yang kecil, mereka juga harus menghadapi cobaan lain,
yakni tidak adanya fasilitas perumahan untuk mereka. Jadilah ketujuh
guru termasuk kepala sekolah tinggal di kantor sekolah yang sempit.
Ruangan itu pun masih disekat untuk ruang tidur dan dapur.
Lantaran tidak ada toilet, setiap kali butuh membuang hajat, para
guru terpaksa pergi ke Sungai Telanca, sekitar 500 meter dari sekolah.
"Beginilah kehidupan kami sehari-hari, " kata Kepala SDN Ciroyom Sumarna.
Untuk makan sehari-hari, banyak warga yang memberikan beras saat
panen. Guru-guru itu juga bergiliran memasak. Bahannya apa saja yang
ditemukan di sekitar sekolah, seperti daun singkong atau jantung
pisang. Kadang mereka bersama warga mencari ikan ke laut.
Sukarela
Keterlibatan Muksin menjadi guru sukarelawan berawal dari ajakan
seorang mantan gurunya. Muksin masih ingat waktu itu dia sedang bermain
bola ketika mantan gurunya sewaktu SD, Iskandar, memanggilnya.
"Almarhum Pak Iskandar sedang menjabat Kepala SDN Ciroyom dan mengajak
saya menjadi guru sukarela di sekolahnya. Waktu itu hanya beliau
sendiri yang mengajar di SDN Ciroyom," ujarnya.
Muksin tidak langsung menerima tawaran itu. Selama seminggu dia
berpikir keras sebelum mengiyakannya. Muksin yang lulusan D-2 Jurusan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Kependidikan Islam atau Tarbiyah
ditugaskan mengajar di kelas satu.
Seiring berjalannya waktu, jumlah guru sukarelawan pun terus
bertambah. Namun, sekolah tempat para guru itu mengajar bukan tempat
yang nyaman.
Bangunan sekolah dan atap rusak sehingga saat hujan murid-murid
dibubarkan dan guru harus menyelamatkan buku-buku dari kemungkinan
terkena air hujan.
Karena dijalani dengan ikhlas, lama-kelamaan semuanya mulai
terbiasa. Anak-anak menjadi sumber kegembiraan para guru mengajar di
sana. Di luar jam sekolah, terkadang mereka bermain di lingkungan
sekolah dan mengunjungi para gurunya.
Tidak hanya para guru sukarelawan di SDN Ciroyom yang berjuang
mengajar di kondisi serba terbatas. Di SDN Cikawung ada dua guru
pegawai negeri sipil dan tiga sukarelawan. Udenda, salah seorang guru
sukarelawan, dibayar Rp 150.000 per tiga bulan atau sekitar Rp 50.000
per bulan yang diambil dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Medan menuju SDN Cikawung tidak jauh berbeda dengan SDN Ciroyom.
Udenda, sang guru sukarelawan, juga memilih tinggal di perumahan
sederhana milik sekolah.
Pada masa awal menjadi guru, Udenda hanya berdua dengan kepala
sekolah yang bertugas di sekolah itu. Kemudian, satu per satu datang
guru baru.
Sebagian besar guru sukarelawan tersebut belum berumah tangga dan
bahkan tidak berani memikirkan berkeluarga. "Mau dikasih makan apa
keluarga saya nanti dengan gaji Rp 100.000?" ujar Udenda yang
sebelumnya selama dua tahun bekerja sebagai teknisi pendingin ruangan
di Jakarta.
Bagi Udenda, menjadi guru merupakan pengabdian. Dia belum tahu
sampai kapan bertahan menjadi guru sukarelawan. Yang jelas, saat ini,
dia tidak tega meninggalkan warga di Cikawung yang membutuhkan
pendidikan seperti anak-anak di daerah lain.
Muksin, Udenda, dan para guru lainnya bertahan menjadi guru
sukarelawan karena pengabdian, perhatian, dan keprihatinan terhadap
masa depan anak-anak di kampung terpencil.
Mereka rela berkorban dan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri demi masa depan anak-anak yang mereka cintai.

Sumber : Kompas

3 komentar:

  1. Kapan Indonesia mau maju anggaran pendidikan aja sedikit. Sebaiknya pemerintah itu lebih perhatian kepada pendidikan. Karena pendidikan adalah modal kebangkitan bangsa.
    oiya pasang widget infogue.com. Bisa nambah pengunjung lho.
    kayak diblog guehttp://pendidikan.infogue.com/guru_sukarelawan_bertahan_dengan_gaji_rp_100_000_per_bulan

    BalasHapus
  2. Man, yang selalu jadi pertanyaan buat gue ?? KITA KAPAAAAANNNN !!! I hate myself when I'm thinking about it, Bro !

    BalasHapus