Jumat, 14 September 2007

10 KUALITAS PRIBADI YANG MULIA

Ketulusan

Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh
semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena
yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan
kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau
memutarbalikkan fakta. Prinsipnya “Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak”.
Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi
dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi
keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

Kerendahan Hati

Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendah hatian justru
mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap
rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang
yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa
membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya
tidak merasa minder.

Kesetiaan

Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yang
setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya
komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

Positive Thinking

Orang yang bersikap positif (positive thinking) selalu berusaha melihat
segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk
sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang
lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka
mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan
sebagainya.

Keceriaan

Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak
harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria
adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu
berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain,
juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong
semangat orang lain.

Bertanggung jawab

Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan
sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya.
Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk
disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan
menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang
bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

Percaya Diri

Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana
adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya
diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia
tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

Kebesaran Jiwa

Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain.
Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci
dan permusuhan. Ketika menghadapi masa- masa sukar dia tetap tegar, tidak
membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Easy Going

Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka
membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-
masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir
dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah
yang berada di luar kontrolnya.

Empati

Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja
pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain.
Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua
belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia
selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

Selasa, 04 September 2007

Sekedar Renungan Bagi Para Orang Tua

Dinukil dari : Sularso (motivasi-motivasi/www.Sularso.blogspot.com)

Jika masih tertahan kelopak mata ini untuk tetap terbuka hingga larut, atau
saat terjaga di pertengahan malam selalu saya sempatkan untuk menyambangi
kamar anak-anak. Saya hampiri dan tatap wajah mereka bergantian sambil
menghalau nyamuk yang hinggap di tubuh mereka. Wajah indah yang terlelap
itu menyibakkan kejujuran dalam hati, bahwa mereka hadir sebagai amanah yang harus dijaga sebaik-baiknya.

Mereka ada untuk dicinta.
Terbayanglah kekesalan yang hampir tercipta akibat perbuatan dan tingkah
nakal mau pun pembangkangan mereka siang tadi. Terlintaslah amarah yang
nyaris meluap saat mereka tak mendengar perintah mau pun ketika peraturan
terlanggar. Beruntung kekesalan itu hanya sempat mampir di kepala dan tak
sampai keluar makian kasar yang pasti akan melukai telinga mereka.
Bersyukur amarah ini tak sekali pun sempat membuat mereka melihat saya
seperti monster yang menakutkan.

Mereka hanya anak-anak yang sangat pantas dan bisa sangat dimaafkan ketika
berbuat kesalahan. Jiwa mereka masih sangat rapuh untuk menerima kalimat dan perilaku kasar orang tua hanya karena kesalahan kecil yang mereka pun
mungkin tak sadar kalau itu benar-benar sebuah kesalahan.

Bisa jadi letak kesalahan justru terletak pada orang tua yang terlalu kaku
membuat peraturan, mengekang kebebasan mereka sebagai individu yang meski
masih kecil tetap saja seorang manusia yang berhak dan bebas memilih untuk
melakukan yang terbaik menurut mereka.

Tugas orang tua bukan melarang atau memerintah, tapi lebih kepada
mengarahkan agar mereka tetap berada pada jalur yang sebenarnya.

Menatap kembali wajah-wajah bersih itu dalam tidur mereka yang mungkin
sedang memimpikan Ayah dan Ibu yang tengah menimang dan membuai penuh kasih, tergambar jelas tak sedikit pun ada dosa di diri mereka. Kalau mau
menghitung-hitung, jangan-jangan justru kita lah yang lebih banyak berbuat
kesalahan terhadap mereka dibanding jumlah kesalahan kecil mereka.

Saya teringat banyak kejadian di luar. Misalnya ketika di sebuah angkot
seorang ibu memaki anaknya yang masih berusia empat tahun -dari posturnya
seukuran anak saya- dengan kalimat yang sangat belum waktunya anak sekecil
itu mendapatkannya. Belum lagi tempelengan yang sempat mampir di kepalanya.
"goblok lu ya, kalau jatuh mampus luh," hanya karena ia sempat melongok ke
arah pintu angkot. Sebuah kesalahan kecil yang mestinya bisa disikapi lebih
bijak dengan sebuah nasihat lembut. Atau ketika isteri saya bercerita
tentang seorang ibu dari teman sekolah anak kami di TK. Anaknya terjatuh
saat berlari, "Nyungsep sekalian biar bonyok tuh muka. Udah dibilangin
jangan lari," itu pun masih ditambah satu tamparan di kepala. Yang pasti itu
tak meredakan tangis si anak, bahkan membuat memar di lututnya semakin perih terasa hingga ke hati.

Mengusap bulir keringat di kening mereka dan membelai rambutnya saat tidur
membuahkan pertanyaan di benak ini, haruskah bintang-bintang sejernih ini
mendapatkan perlakuan sekasar itu?

Lihat saja senyum mereka saat terlelap, dan dengarkan hati mereka bernyanyi
dalam mimpi. Anda akan mendengarkan nyanyian riangnya jika Anda
memperlakukannya sepanjang hari seperti halnya Anda tengah menciptakan
sebuah mimpi indah untuknya.

Namun jangan terperanjat ketika tengah malam tidur Anda terusik saat ia
mengigau dan berteriak ketakutan.
Hanya rintihan yang bisa terdengar dari mimpinya karena sepanjang hari ia
hanya mendapatkan kecemasan dan ketakutan dari kalimat kasar, delikkan mata
dan ayunan keras tangan Anda ke tubuh mereka.

Tak seekor nyamuk pun pernah saya persilahkan untuk menyentuh setiap inci
kulit mereka. Lalu kenapa masih ada yang tega mencederai anak-anak, padahal
dalam berbagai dongeng mereka selalu mendengar bahwa yang kasih dan cintanya tak terbanding itulah Ayah dan Ibu.

Coba sentuh dengan lembut wajah halusnya saat tidur, itu akan membuatnya
bermimpi indah seolah tengah terbaring di pangkuan bidadari.

Anak-anak tak pernah membenci orang tuanya, bahkan saat mereka mendapatkan perlakukan kasar dari orang tua pun, tetap saja nama Ayah atau Ibu yang mereka panggil saat menangis. Anak-anak tak pernah berdosa terhadap orang tuanya, justru kebanyakan orang tua yang berdosa kepada mereka dengan makian kasar dan pukulan menyakitkan. Anak-anak tak pernah benar-benar membuat orang tua kesal, orang tua lah yang teramat sering membuat mereka kecewa mendapati Ayah dan Ibunya tak seindah syair lagu yang selalu diajarkan guru di sekolah.

Ah, kadang orang tua baru menyadari bahwa anak-anak hadir untuk dicinta saat
ia terbaring lemah di salah satu tempat tidur di bangsal anak-anak. Atau
ketika Tuhan mencabut amanah itu dari kita. Menangiskah kita?
salam,

Hidup Bermakna Versi Logoterapi

Oleh: Afthonul Afif *

Kajian psikologi akhir-akhir ini menunjukkan suatu perkembangan yang sangat kondusif berkenan dengan dialog spiritualitas. Lebih khusus lagi berkaitan dengan aspek "makna hidup". Tulisan ini bermaksud memperkenalkan aliran psikologi yang dipelopori Victor E. Frankl, seorang tokoh besar dalam kajian psikologi, terutama psikologi eksistensial-humanistik, yang sumbangan pemikirannya semakin kontekstual dewasa ini. Frankl dikenal menaruh perhatian besar pada "kebermaknaan hidup".

Victor E. Frankl adalah seorang neuro-psikiater kelahiran Wina, Austria yang berhasil selamat keluar dari kamp konsentrasi maut Nazi pada Perang Dunia II melalui usahanya untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan hidup bermakna (the will to meaning). Ternyata harapan untuk hidup bermakna dapat dikembangkan dalam berbagai kondisi, baik dalam keadaan normal, maupun dalam penderitaan (suffering), misalnya dalam kondisi sakit (pain), salah (guilt), dan bahkan menjelang kematian sekalipun (Victor E. Frankl, Psychotherapy and Existentialism, 1973,hlm. 25). Ia mempelopori suatu model psikoterapi yang disebut "Logoterapi". Logoterapi sering dimasukkan pada Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology, karena dianggap sebagai aliran psikologi yang telah mapan setelah Psikoanalisa Sigmund Freud, Psikologi Individual Alfred Adler, yang tumbuh dan berkembang di kota Wina juga.

Logoterapi berasal dari kata logos yang telah diadopsi dari bahasa Yunani dan berarti "makna" (meaning) dan juga "ruhani" (spirituality). Logoterapi ditopang oleh filsafat hidup dan insight mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi spiritual, selain dimensi somatis, dimensi psikologis dan dimensi sosial pada eksistensi manusia, serta menekankan pada makna hidup dan kehendak untuk hidup bermakna sebagai potensi manusia. Dalam logoterapi dimasukkan pula kemampuan khas manusia, yaitu self-detachment dan self-trancendence yang keduanya menggambarkan adanya kebebasan dan rasa tanggung jawab. Karakteristik eksistensi manusia menurut logoterapi adalah: keruhanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility) (Victor Frankl, "The Cocept of Man in Psychoterapy", dalam Proceeding of the Royal Society of Medicine. Vol.47, 1954, hlm.979).

Setiap sistem dan metode psikoterapi pada dasarnya berlandaskan pada filsafat manusia yang khas. Sebagai contoh psikoanalisa dan behaviorisme, mazhab psikologi yang paling berpengaruh di Amerika sampai sekarang-sangat kental dipengaruhi oleh filsafat yang positivistik tentang manusia. Psikoanalisa dan Behaviorisme melihat perilaku manusia digerakkan oleh situasi yang deterministik.

Setiap model psikoterapi yang berusaha mengembalikan kebebasan manusia sebagai sesuatu yang kodrati, pastilah akan bersinggungan dengan dua mazhab besar diatas. Begitu juga Logoterapi. Frankl berusaha mengembalikan kebebasan sebagai sesuatu yang berharga bagi manusia. Filsafat manusia yang mendasari Logoterapi adalah semangat untuk hidup autentik guna mencapai kebebasan lewat upaya untuk hidup bermakna.

Filsafat Manusia Logoterapi
Filsafat Logoterapi lahir dari kondisi yang suram dan tiada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Suasana Perang Dunia II benar-benar telah mencampakkan harga diri kemanusiaan sampai ke dasar terendahnya. Manusia tidak lagi dihargai sebagai entitas yang dapat mengambil keputusannnya sendiri. Institusi negara dan ideologi-ideologi totaliter telah merontokkan martabat manusia. Kita bisa melihat karya para filsuf eksistensialis yang sezaman dengan Frankl, seperti Albert Camus dan Jean Paul Sartre yang frustasi akan masa depan umat manusia. Mereka melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang ambigu dan dipenuhi dengan absurditas.

Tetapi Frankl tidak ingin terjebak dalam absurditas dunia. Dia berusaha melampauinya melalui filsafat hidup Logoterapi. Filsafat Logoterapi mensiratkan sebuah harapan besar tentang masa depan kehidupan manusia yang lebih berharga dan bermakna. Teori tentang kodrat manusia dalam Logoterapi dibangun diatas tiga asumsi dasar, dimana antara yang satu dengan yang lainnya saling menopang, yakni: (a) kebebasan bersikap dan berkehendak (the freedom to will); (b) kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning); dan (c) tentang makna hidup (the meaning of life) (Frankl, "The Philosophical Foundations of Logoterapy", dalam Psychotearpy an Existentialism, hlm 13-28).

Tentang "Kebebasan berkehendak" pada dasarnya merupakan antitesa terhadap pandangan mengenai manusia yang sifatnya deterministik, sebagaimana yang mendasari Psikoanalisa dan Behaviorisme. Frankl sendiri menyebut pandangan tersebut sebagai "pan-determinisme", yakni: "....pandangan seseorang yang tidak menghargai kemampuannya dalam mengambil sikap untuk mencapai kondisi yang diinginkannya. Manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan ditentukan oleh lingkungannya, namun dirinyalah yang lebih menentukan apa yang akan dilakukan terhadap berbagai kondisi itu. Dengan kata lain manusialah yang menentukan dirinya sendiri" (Frankl, Man's Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy, 1962, hlm. 131).

Tentang "Kehendak untuk hidup bermakna" (the will to meaning), menurut Frankl merupakan motivasi utama yang tedapat pada manusia untuk mencari, menemukan dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya.

Dalam menerangkan the will to meaning, Frankl berangkat dari kritiknya terhadap the will to pleasure (Sigmund Freud) dan the will to power (Alfred Adler), yang masing-masing menganggap tujuan utama dari motivasi manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan/kenikmatan (pleasure) dan kekuasaan (power).

Mengenai kedua pendapat diatas Frankl memberi catatan bahwa kesenangan bukanlah semata-mata tujuan hidup manusia, melainkan "akibat sampingan" (by product) dari sebuah tujuan itu sendiri. Begitu juga dengan kekuasaan yang hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Karena pada dasarnya pleasure dan power sebenarnya sudah tercakup dalam the will to meaning (kekuasaan merupakan sarana untuk mencapai makna hidup, dan kesenangan hanyalah efek samping yang dihasilkan dari terpenuhinya makna hidup tersebut).

Frankl memang sengaja menyebut the will to meaning bukan the drive to meaning, karena menurutnya makna dan nilai itu berada di luar diri manusia dan kebebasan manusia-lah yang menentukan apakah ia akan menerimanya atau menolaknya. Makna dan nilai adalah hal-hal yang harus dicapai bukan suatu dorongan.

Tentang "Makna hidup", Frankl menganggap bahwa makna hidup itu bersifat unik, spesisfik, personal, sehingga masing-masing orang mempunyai makna hidupnya yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara pribadi yang satu dengan yang lainnya. Seorang logoterapis sama sekali tidak memberikan makna hidup tertentu pada klien-kliennya, ia hanya membantu memperluas cakrawala pandangan klien mengenai kemungkinan-kemungkinan menemukan makna dan arti hidup, serta membantu mereka untuk menyadari tanggung jawab dari setiap tujuan hidup mereka. Memilih, menentukan makna hidup sepenuhnya menjadi tanggung jawab klien, dan bukan tanggung jawab terapis.

Dalam The Doctor and the Soul (1964), Frankl juga menerangkan bahwa Logoterapi dapat membimbing manusia dalam melakukan kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup. Pertama, berkarya serta melakukan tugas hidup sebaik-baiknya. Kegiatan ini biasa disebut sebagai creative values (nilai-nilai kreatif). Kedua, berusaha mengalami dan menghayati setiap nilai yang ada dalam kehidupan itu sendiri. Proses mengalami ini biasa disebut sebagai experiental values (nilai-nilai penghayatan). Ketiga, menerima berbagai bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti kedukaan, sakit yang tak tersembuhkan lagi, kematian, setelah segala daya upaya telah dilakukan secara maksimal. Sikap tabah terhadap realitas seperti ini biasa disebut sebagai attitude values (nilai-nilai bersikap).

Nilai-nilai diatas kiranya dapat dihadapkan pada para klien oleh seorang Logoterapis, dalam membantu menemukan makna dan tujuan hidup klien yang otentik. Dan terpulang pada klien sendiri untuk memilih, menentukan, dan merealisasikannya. Sketsa Self-disoder Manusia Kontemporer

Ada beberapa problem eksistensial yang galibnya berusaha diatasi oleh filsafat Logoterapi, yaitu Existential Frustation (frustasi eksistensial), Existential Vacuum (kehampaan eksistensial), dan Noogenic Neurosis (neurosis noogenik). Ketiganya merupakan istilah-istilah kunci dalam logoterapi, satu sama lainnya saling berhubungan, serta merupakan konsep-konsep dasar dalam memahami gangguan kejiwaan dalam kehidupan manusia kontemporer.

Frustasi eksistensial muncul ketika dorongan untuk hidup bermakna mengalami hambatan. Gejala-gejala dalam frustasi eksistensial tidak mewujud secara nyata, karena pada umumnya bersifat laten dan terselubung (masked). Perilaku yang menandai frustasi eksistensial biasanya terungkap dalam berbagai usaha untuk memperoleh kompensasi besar melalui penyaluran hasrat untuk berkuasa (the will to power) atau bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure). (Frankl, Psychoyherapy and existentialism, hlm. 120-121).

Frustasi eksistensial sering ditemukan dalam gejala neurosis. Untuk neurosis jenis ini, logoterapi menandainya dengan istilah "neurosis noogenik" yang berbeda dengan neurosis "psikogenik". Ini adalah istilah dalam Logoterapi yang merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan sisi spiritual manusia. Dalam frame rujukan Logoterapi istilah "spiritual" tidak memiliki konotasi utama pada agama, namun kembali secara khusus pada eksistensi manusia (Frankl, Man's Search to Meaning, hlm. 112).

Sementara itu, mengenai kehampaan eksistensil, biasanya muncul dalam perilaku yang menunjukkan perasaan serba hampa, gersang, dan kebosanan yang berlebihan. Menurut Frankl, faktor-faktor yang menyebabkan meluasnya kehampaan eksistensial adalah dianutnya ideologi-edeologi tentang manusia yang bercorak reduksionistik, pan-determinisme, serta teori-teori homeostatis. Wawasan-wawasan tersebut menganggap eksistensi manusia sebagai sistem yang tertutup, atau memandang manusia dari sudut pandang kemanusiaan yang sub-human, dan dengan demikian mengembangkan berbagai model manusia yang berpola "rat-model", "machine model", "computer model", dan sebagainya. Wawasan-wawasan ini mengingkari karaktersitik khas manusia seperti: kemampuan mentransendensikan diri, kemampuan mengambil jarak dengan lingkungan dan diri sendiri, kebebasan berkehendak, rasa tannggung jawab, dan spiritualitas.

Terakhir mengenai "Neurosis noogenik". Neurosis noogenik tidak muncul dari arahan konflik antara Id-Ego-Superego, konflik instingtif, trauma psikis, dan berbagai kompleks psikis lainnya, akan tetapi muncul dari problematika spiritual. Neurosis noogenik tidak mengakar pada dimensi psikis manusia, melainkan bersumber pada dimensi spiritual, sehingga dengan demikian neurosis ini tidak bersifat psikogen, tetapi spiritual/noogenik. Frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang menyebabkan terjadinya neurosis jenis ini.

Menurut Frankl, dalam kasus neurosis noogenik, terapi yang cocok dan memadai bukanlah psikoterapi, melainkan Logoterapi; sebuah terapi yang berani memasuki dimensi spiritual dari eksistensi manusia.

Out-put dari proses Logoterapi bisa terlihap pada kepribadian yang sehat atau dalam istilah Frankl "pribadi yang mengatasi diri". Inilah pribadi yang mampu melihat kehidupan dunia tidak hanya dalam kerangka pengejaran akan kekuasaan dan kenikmatan, tetapi lebih berhubungan dengan kemampuan untuk hidup bermakna dalam berbagai kondisi. Tujuan hidup bukanlah hanya untuk mencapai kondisi keseimbangan (equilibrium), yang serba tanpa ketegangan, melainkan senantiasa berada dalam semacam tegangan yang produktif antara apa yang kita hayati sekarang, dengan prediksi dan pengandaian tentang apa yang kita hayati pada masa mendatang.

*Pendidik di Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi '45 Yogyakarta

Kutipan:

  1. Filsafat manusia yang mendasari Logoterapi adalah semangat untuk hidup autentik guna mencapai kebebasan lewat upaya untuk hidup bermakna.
  2. Frankl sengaja menyebut the will to meaning bukan the drive to meaning, karena menurutnya makna dan nilai itu berada di luar diri manusia dan kebebasan manusia-lah yang menentukan apakah ia akan menerimanya atau menolaknya.

Senin, 03 September 2007

MENUMBUHKAN SIKAP EMPATI PADA ANAK


Oleh : Ridwan Hardiawan S.Psi

Setiap anak yang dilahirkan bagaikan kertas putih begitu yang diutarakan oleh seorang filsuf terkenal John Locke, sedang jauh sebelum John Locke mengutarakannya, Islam telah menyuratkan dalam ajarannya bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah suci orangtuanyalah membuatnya menjadi nasrani atau majusi. Bahwa setiap orangtua pasti berharap keturunannya menjadi yang baik bahkan harus melebihi mereka sehingga banyak orangtua menerapkan sesuatu nilai-nilai atau norma-norma dan pola asuh agar anaknya menjadi apa yang mereka harapkan.

Seiring dengan dengan perkembangannya bahwa mendidik anak bukanlah hal yang mudah, tetapi adalah suatu ujian dan cobaan, banyak literatur yang tidak ada habis-habisnya mengupas tentang cara mendidik anak, hal ini merupakan salah satu ciri bahwa mendidik anak adalah suatu ilmu yang harus dimiliki agar para orangtua, agar mereka mampu menjadi suri tauladan dan panutan bagi anak sehingga harapannya adalah memiliki anak yang berguna bagi bangsa, negara, orangtua dan agama.

Ada ungkapan bahwa,”the first teacher is your mother and the first leader is your father”, ungkapan disini menguatkan bahwa peranan orangtua dalam menyusun pola asuh yang baik membutuhkan kerja keras dan team work, bukan mengandalkan suatu pihak; sebagai contoh Ayah hanya mencari uang, mengasuh anak hanya tugas ibu saja, jadi kalau terjadi sesuatu sang ayah dapat menyalahkan istrinya.

Ada sebuah kisah nyata yang bukunya telah menjadi best-seller, berjudul Sheila. Dikisahkan bagaimana Sheila ketika kecil yang masih berumur 6 tahun senang menyakiti binatang dan kawannya. Ia pernah mencongkel mata ikan hidup-hidup, dan juga pernah menculik anak usia 3 tahun untuk dibakar. Sheila adalah seorang anak yang tidak mempunyai rasa empati, yaitu kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain. Sheila adalah anak yang dilahirkan oleh seorang gadis berusia 14 tahun yang memperlakukan Sheila dengan kasar. Bahkan ia pernah dibuang oleh ibunya di pinggir jalan, serta sering mendapatkan pukulan dari ayahnya.

Pola asuh ini banyak terjadi di Indonesia, kalau kita melihat di perempatan jalan atau lampu merah banyak anak dipaksa mengamen oleh orang tuanya, sedang orangtuanya nganggur akibatnya anak menjadi kurang kasih sayang karena masa kecilnya habis untuk hidup dijalan mencari uang, anak menjadi kurang kasih sayang dan menghabiskan waktunya di jalan sehingga anak menjadi liar, kasar dan tidak memiliki empati didirinya.

Alfred Adler mendefinisikan empati dengan kemampuan seseorang untuk “melihat dengan mata orang lain, mendengar dengan kuping orang lain, dan merasakan dengan hati orang lain”. Rasa kepedulian, kasih sayang, dan keinginan menolong sesama adalah bersumber dari adanya rasa empati pada diri seseorang. Seorang yang mempunyai rasa empati dapat merasakan penderitaan orang lain, binatang, atau makhluk hidup lainnya, sehingga timbul keinginan untuk dapat berbuat sesuatu untuk menolong atau meringankan penderitaan sesama makhluk hidup.

Orang yang mempunyai rasa empati tinggi biasanya dermawan, disenangi dalam pergaulan, mudah menyesuaikan diri, dan percaya diri. Bahkan hasil penelitian Gallo (1989) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara rasa empti dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta keberhasilan akademik.

Menumbuhkan rasa empati harus dimulai sejak kecil, mulai dari dalam keluarga dan sekolah. Lingkungan yang penuh cinta dan rasa aman adalah prasyarat penting bagi tumbuhnya empati pada anak. Seorang anak yang terbiasa menerima perlakuan kasar dari orang tuanya, akan keras hatinya sehingga cenderung tertutup rasa empatinya untuk merasakan penderitaan orang lain.

Menghardik dan memukul anak apabila berbuat salah akan menghambat rasa empati, Karena anak akan cenderung membela dirinya, sehingga hatinya akan mengkerut. Hati yang mengkerut dan mengeras adalah hati yang marah dan dendam. Tetapi dengan mengalihkan anak untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain akibat tindakannya yang salah, akan meluluhkan hatinya, sehingga hatinya menjadi lapang. Hati yang lapang adalah hati yang penuh kasih sayang dan cinta.

Maka, prasyarat untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan empati kepada anak adalah dengan memberikan cinta dan kasih sayang sebesar-bearnya kepada anak sejak kecil. Selain cinta dan rasa aman, orang tua dan guru perlu mengajarkan anak untuk menempatkan dirinya pada orang lain.

Peran sekolah juga tidak kalah pentingnya untuk membangun rasa empati anak. Misalnya, dengan tersedianya kurikulum khusus yang mengajarkan murid-murid rasa empati, akan mengurangi tingkat pelecehan antar kawan, perkelahian, dan kekerasan di sekolah. Apabila sejak kecil anak-anak sudah terbiasa untuk “mendengar, melihat, dan merasakan” dengan perspektif orang lain, maka jangankan menyakiti dan merugikan orang lain, tanaman pun tidak mau mereka sakiti.