Kamis, 26 Juni 2008

Mengais Harapan dari Tumpukkan Sampah

ming-ming sedang mengais sampah Ming Ming Sari Nuryanti (Mahasiswi Universitas Pamulang) Menjadi Pemulung untuk membiayai kuliah dan melanjutkan hidupnya (REALITA edisi 17, 28 April – 11 Mei 2008)
Ming Ming Sari Nuryanti, Pangilannya Muna. Ia lahir di Jakarta, 28 April 1980 sebagai putri pertama dari tujuh bersaudara pasangan Syaepudin (45) dan pujiyati (42). Syaepudin, ayahnya, adalah seorang karyawan di sebuah tempat hiburan di daerah ancol, Jakarta Utara. Setiap hari ia mengumpulkan bola bowling . Sementara ibunya Pujiyati adalah seorang ibu rumah tangga sederhana. Lisa, adiknya yang pertama, duduk dibangku kelas 3 SMU Negeri I Rumpin. Melati, adiknya yang kedua, duduk dibangku kelas 2 di SMU yang sama. Kenny, adiknya yang ketiga, duduk dibangku kelas 6 SD Sukajaya. Sementara tiga adiknya yang lain juga masih sekolah disekolah yang sama. Romadon di kelas 5, Rohani di kelas 4 dan Mia di kelas 1.
Pada tahun 1994, dengan ekonomi yang pas-pasan Muna bersama keluarganya mengotrak rumah sangat sederhana di daerah Kosambi, Cengkareng. Orang tua muna menggeluti usaha rempeyek untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang memang hasilnya tidak menjanjikan. Disela kehidupan yang cukup prihatin, Muna, yang pada waktu itu masih berusia 4 tahun menunjukan potensi dirinya yang berbeda dengan anak-anak lainnya. Dalam usia yang sedini ini, ia memaksa orang tuanya untuk memohon kepada kepala sekolah SDN 02 Kosambi agar menerimanya sebagai murid kelas 1. Hasilnya menggembirakan, ia tidak mengalami masalah dan bahkan dapat naik ke kelas 2 dengan hasil yang memuaskan.

keluarga ming-ming Saat Muna beranjak kelas dua, yaitu tahun 1996 Muna bersama keluarga hijrah ke daerah Bogor, Rumpin. keluarga mereka membuka usaha warung makanan dengan modal yang pas-pasan. Setahun berjalan, usaha itu bangkrut. Hingga untuk bisa bertahan hidup mereka hanya mengkonsumsi bubur atau singkong. Hal itu berlanjut hingga lima tahun.
Suatu hari, ada seorang teman ayah Muna yang memberitahu bahwa gelas dan botol bekas air mineral dapat dijadikan uang . Saat itu juga serentak seluruh keluarga mengumpulkan gelas dan botol bekas air mineral. Hampir setiap hari keluarga mereka berbondong-bondong keluar sambil membawa karung dan terkadang pulang hingga jam tiga pagi. Gelas bekas yang dikumpulkannya ini dihargai delapan ribu rupiah untuk setiap kilonya. Dalam sehari Muna dapat mengumpulkan sebanyak satu karung gelas plastik bekas atau seberat satu kilo gram.
Dari usaha yang baru ini membawa sedikit angin segar bagi keluarga Muna, terlebih bagi dirinya sendiri yang memang sangat bersemangat untuk menempuh pendidikan setinggi tingginya. Dalam keadaan yang sulit sekalipun prestasi belajarnya cukup menggembirakan. Semenjak SD hingga SMU Muna selalu mendapat peringkat tiga besar. Sebelum meninggalkan bangku SMU ia pernah mendapat juara 2 lomba puisi dan ia pun masuk kedalam sepuluh besar lomba membawakan berita pada peringatan hari bahasa pada waktu itu. Pada bangku kuliah pun ia masuk dalam peringkat sepuluh besar pada universitas Pamulang jurusan akuntansi. Potensi inilah yang membakar semangatnya dan memperoleh dukungan keluarga untuk terus belajar.
Tahun ajaran 2007-2008 masih dalam keadaan cukup prihatin Muna memberanikan diri mencicipi bangku kuliah. Tekadnya bulat untuk memilih jurusan akuntansi yang dalam benaknya dapat memudahkan mencapai cita-citanya untuk dapat bekerja pada Bank Indonesia. Dengan biaya kuliah Rp. 900.000 per semester dapat dicicilnya setiap bulan sebesar Rp. 150.000. Jadi, apabila ia ingin kuliah maka ia pun harus bekerja keras siang malam.
Semangat dalam belajar dan bersabar dalam meniti jalan kehidupannya membuat muna dapat dikatakan memiliki suatu yang lebih diantara kawan sebayanya. Meskipun terkadang hanya makan sekali dalam sehari tidak membuatnya kehilangan energi dalam menuntut ilmu. Muna yang memang dikenal juga anak yang pandai bergaul dan periang ini bergabung bersama kawan-kawannya di UKM MUSLIM. . Keprihatinan yang dialami keluarga Muna baru diketahui ketika kawan-kawannya berkunjung ke rumahnya. Semenjak itu, ia semakin mendapat perhatian dari pengurus UKM MUSLIM dan kawan-kawannya dengan memberinya bantuan yang memang jumlahnya belum cukup signifikan.
Ust. Harist, salah seorang Pembina MUSLIM merekomendasikan Muna untuk mendapat bantuan beasiswa melalui DPU DT. Alhamdulillah, setelah mengikuti seleksi akhirnya Muna lolos menjadi anggota program BEA MAHAKARYA DPU DT. Dalam program BEA MAHAKARYA ini selain mendapat bantuan finansial ia juga memperoleh serangkaian pendidikan dan pelatihan yang dapat menjadi bekal bagi dirinya kedepan. Muna terlihat semakin optimis mengejar cita-citanya. Selain itu pula atas usaha dan dukungan kawan-kawannya ia dapat diliput dibeberapa media cetak dan elektronik yang mudah mudahan dapat dijadikan pintu keluar bagi keprihatinan yang ia alami sekeluarga selama ini.

diposting dari http://www.dtjakarta.or.id

Selasa, 17 Juni 2008

Perusahaan Taksi VS Kejaksaan Agung

Ridwan Hardiawan S.PSi

Pagi ini ketika saya sedang sarapan di warung bawah secara tidak sengaja saya makan bareng dengan seorang pengemudi taksi dari salah satu perusahaan taksi terkenal di Jakarta. saya perhatikan dia begitu rapi dengan wajah sumringah saya coba untuk ngobrol-ngobrol dengan pengemudi tersebut.

Dia bercerita banyak tentang pekerjaannya sekarang, bahwa dia pernah ada penumpang yang tertinggal barangnya berupa handphone di jok belakang, sebut saja namanya Pak Amin. Dia begitu kaget dan langsung melaporkan ke Perusahaan, Pak Amin berkata dalam hati, "wah bagus sekali ini handphone boleh juga nih, tapi hati kecil saya berkata, bagaimana mungkin telepon ini saya ambil terus penumpang tahu identitas saya dan melaporkan kepada perusahaan nanti saya dipecat dan mana tega saya ngasih makan anak istri saya dengan uang haram ".
"kalau di perusahaan saya sistemnya sudah bagus pak, semuanya bisa ketahuan kalo ada pengemudi yang macam-macam jadi kita tidak berani, misalnya ada orang yang punya kelakuan yang engga bener diluar tapi kalau sudah kerja di perusahaan saya pasti ngga' berani macam-macam soalnya sistemnya kuat banget pak" kata pak Amin seraya melahap sarapan paginya.

saya jadi teringat akan kasus kejaksaan agung yang melibatkan para JAM nya berkolusi dengan terpidana kasus BLBI melalui calonya artalyta alias ayin yang berhasil disadap oleh KPK.
yang saya heran mereka adalah para "Aparat Penegak Hukum" yang Notabene adalah ujung tombak penegakan hukum dinegara Indonesia tercinta ini.
Saya jadi berfikir bagaimana mungkin seorang penegak hukum tidak memiliki hati nurani yang membiarkan seorang pengemplang dana BLBI yang jelas-jelas merugikan negara triliunan rupiah hendak di SP3 alias dibebaskan dari segala tuntutan, dimana hati nuraninya dan bagaimana sistem yang berlaku di lingkungan kejaksaan agung. Apakah ada yang salah terhadap manusianya atau sistem peradilan nya kah?????

Atau diganti saja Para Jaksa Agung Muda tersebut dengan Pak Amin yang seorang supir taksi tersebut ????

Saya berpikir mungkin harus ada revolusi besar-besaran dan bukan lagi reformasi lagi di lingkungan Pemerintahan RI dari akar rumput sampat pucuk pohon, seperti apa yang dilakukan oleh pemerintahan China sehingga saat ini China bisa jauh lebih maju dan dan menjadi negara yang disegani di dunia.

mungkin ini adalah pelajaran bagi kita bahwa harus belajar mengasah hati nurani kita, artinya apabila berada pada lingkungan yang salah tetapi memiliki hati nurani yang kuat maka kita akan jauh lebih mendengar hati nurani dibanding lingkungan.

Semoga dilingkungan Pemerintahan Indonesia banyak memiliki Pak Amin-Pak Amin lain terutama para pejabatnya sehingga lebih banyak pejabat-pejabat atau para pegawainya yang memiliki hati nurani yang bersih sehingga Indonesia jauh lebih baik dan lebih maju.

Senin, 09 Juni 2008

Kisah Penjual Kue Rangi

Sering kita berbicara tentang etos kerja, kadang orang menyangkut pautkan dengan kerja keras. Namun dibalik hal tersebut ada suatu makna terdalam dari sebuah etos kerja adalah pengabdian yang hanya mengharapkan keridhoan Alloh SWT.
kisah ini sangat baik untuk kita renungkan agar kita mampu meredefinisi arti dari etos kerja
selamat membaca mudah-mudahan kita mampu mengambil hikmahnya.

Menjemput Rizki Setengah jam menjelang adzan Dzuhur, dari
kejauhan mata saya menangkap sosok tua dengan pikulan yang membebani pundaknya.
Dari bentuk yang dipikulnya, saya hapal betul apa yang dijajakannya, penganan
langka yang menjadi kegemaran saya di masa kecil. Segera saya hampiri dan
benarlah, yang dijajakannya adalah kue rangi, terbuat dari sagu dan kelapa yang
setelah dimasak dibumbui gula merah yang dikentalkan.
Nikmat, pasti.

Satu yang paling khas dari penganan ini selain bentuknya yang kecil-kecil dan
murah, kebanyakan penjualnya adalah mereka yang sudah berusia lanjut.
"Tiga puluh tahun lebih bapak jualan kue rangi," akunya kepada saya
yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraan bisa menemukan jajanan masa kecil
ini. Sebab, sudah sangat langka penjual kue rangi ini, kalau pun ada sangat
sedikit yang masih menggunakan pikulan dan pemanggang yang menggunakan bara
arang sebagai pemanasnya.

Tiga jam setengah berkeliling, akunya, baru saya lah yang menghentikannya untuk
membeli kuenya. "Kenapa bapak tidak mangkal saja agar tidak terlalu lelah
berkeliling, " iba saya sambil menaksir usianya yang sudah di atas angka
enam puluh. "Saya nggak pernah tahu dimana Allah menurunkan rezeki, jadi
saya nggak bisa menunggu di satu tempat. Dan rezeki itu memang bukan ditunggu,
harus dijemput. Karena rezeki nggak ada yang nganterin," jawabnya panjang.

Ini yang saya maksud dengan keuntungan dari obrolan-obrolan ringan yang bagi
sebagian orang tidak menganggap penting berbicara dengan penjual kue murah
seperti Pak Murad ini. Kadang dari mereka lah pelajaran-pelajaran penting bisa
didapat. Beruntung saya bisa berbincang dengannya dan karenanya ia mengeluarkan
petuah yang saya tidak memintanya, tapi itu sungguh penuh makna.

"Setiap langkah kita dalam mencari rezeki ada yang menghitungnya, dan jika
kita ikhlas dengan semua langkah yang kadang tak menghasilkan apa pun itu, cuma
ada dua kemungkinan. Kalau tidak Allah mempertemukan kita dengan rezeki di
depan sana, biarkan ia menjadi tabungan amal kita nanti," lagi sebaris kalimat
meluncur deras meski parau terdengar suaranya.

"Tapi kan bapak kan sudah tua untuk terus menerus memikul dagangan
ini?" pancing saya, agar keluar terus untaian hikmahnya. Benarlah, ia
memperlihatkan bekas hitam di pundaknya yang mengeras, "Pundak ini, juga
tapak kaki yang pecah-pecah ini akan menjadi saksi di akhirat kelak bahwa saya
tak pernah menyerah menjemput rezeki."

Sudah semestinya isteri dan anak-anak yang dihidupinya dengan berjualan kue
rangi berbangga memiliki lelaki penjemput rezeki seperti Pak Murad. Tidak semua
orang memiliki bekas dari sebuah pengorbanan menjalani kerasnya tantangan dalam
menjemput rezeki. Tidak semua orang harus melalui jalan panjang, panas terik,
deras hujan dan bahkan tajamnya kerikil untuk membuka harapan esok pagi. Tidak
semua orang harus teramat sering menggigit jari menghitung hasil yang kadang
tak sebanding dengan deras peluh yang berkali-kali dibasuhnya sepanjang jalan.
Dan Pak Murad termasuk bagian dari yang tidak semua orang itu, yang Allah
takkan salah menjumlah semua langkahnya, tak mungkin terlupa menampung setiap
tetes peluhnya dan kemudian mengumpulkannya sebagai tabungan amal kebaikan.

***

Sewaktu kecil saya sering membeli kue rangi, tidak hanya karena nikmat rasanya
melainkan juga harganya pun murah. Sekarang ditambah lagi, kue rangi tak
sekadar nikmat dan murah, tapi Pak Murad pedagangnya membuat kue rangi itu
semakin lezat dengan kata-kata hikmahnya. Lagi pula saya tak perlu membayar
untuk setiap petuahnya itu.

Rabu, 04 Juni 2008

Guru Sukarelawan Bertahan dengan Gaji Rp 100.000 Per Bulan

Saya tertarik memasukan artikel dari Harian Kompas ini kedalam blogsite saya karena saya begitu terinspirasi dan tergerak dengan adanya manusia yang mau berkorban untuk bangsa dan negaranya ditengah himpitan konsumerisme dan kapitalisme, sehingga kita semakin tahu siapa pahlawan sebenarnya dinegara Indonesia tercinta ini dan siapa yang ingin bangkit dari keterbelakangan dan kebodohan di tengah euforia 100 tahun Kebangkitan Nasional......
Muksin sudah hampir tiga tahun mengabdi sebagai guru sukarelawan di
SDN Ciroyom, sebuah sekolah terpencil di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
bagian selatan. Gaji yang cuma Rp 100.000 per bulan tidak menjadi
penghalang.
Kerap muncul keinginan berhenti di benak pemuda berusia 22 tahun
itu. Namun, setiap kali pula muncul wajah anak-anak yang selama ini
diajarnya dan masa depan mereka. Ia pun kembali bersemangat.
Sekolah-sekolah di wilayah terpencil bergantung pada keikhlasan hati
para sukarelawan.
Menjadi guru sukarelawan di sekolah terpencil di Kampung Ciroyom
bukan perkara enteng. SDN Ciroyom terletak di Kampung Ciroyom,
Kecamatan Cibitung, Kabupaten Sukabumi. Kampung yang tak jauh dari Laut
Selatan Jawa itu belum dialiri listrik. Sebagian besar warga kampung
merupakan buruh tani atau penyadap nira kelapa.
Di SDN Ciroyom terdapat empat guru sukarelawan dan tiga guru berstatus pegawai negeri sipil, termasuk kepala sekolah.
Selain honor yang kecil, mereka juga harus menghadapi cobaan lain,
yakni tidak adanya fasilitas perumahan untuk mereka. Jadilah ketujuh
guru termasuk kepala sekolah tinggal di kantor sekolah yang sempit.
Ruangan itu pun masih disekat untuk ruang tidur dan dapur.
Lantaran tidak ada toilet, setiap kali butuh membuang hajat, para
guru terpaksa pergi ke Sungai Telanca, sekitar 500 meter dari sekolah.
"Beginilah kehidupan kami sehari-hari, " kata Kepala SDN Ciroyom Sumarna.
Untuk makan sehari-hari, banyak warga yang memberikan beras saat
panen. Guru-guru itu juga bergiliran memasak. Bahannya apa saja yang
ditemukan di sekitar sekolah, seperti daun singkong atau jantung
pisang. Kadang mereka bersama warga mencari ikan ke laut.
Sukarela
Keterlibatan Muksin menjadi guru sukarelawan berawal dari ajakan
seorang mantan gurunya. Muksin masih ingat waktu itu dia sedang bermain
bola ketika mantan gurunya sewaktu SD, Iskandar, memanggilnya.
"Almarhum Pak Iskandar sedang menjabat Kepala SDN Ciroyom dan mengajak
saya menjadi guru sukarela di sekolahnya. Waktu itu hanya beliau
sendiri yang mengajar di SDN Ciroyom," ujarnya.
Muksin tidak langsung menerima tawaran itu. Selama seminggu dia
berpikir keras sebelum mengiyakannya. Muksin yang lulusan D-2 Jurusan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Kependidikan Islam atau Tarbiyah
ditugaskan mengajar di kelas satu.
Seiring berjalannya waktu, jumlah guru sukarelawan pun terus
bertambah. Namun, sekolah tempat para guru itu mengajar bukan tempat
yang nyaman.
Bangunan sekolah dan atap rusak sehingga saat hujan murid-murid
dibubarkan dan guru harus menyelamatkan buku-buku dari kemungkinan
terkena air hujan.
Karena dijalani dengan ikhlas, lama-kelamaan semuanya mulai
terbiasa. Anak-anak menjadi sumber kegembiraan para guru mengajar di
sana. Di luar jam sekolah, terkadang mereka bermain di lingkungan
sekolah dan mengunjungi para gurunya.
Tidak hanya para guru sukarelawan di SDN Ciroyom yang berjuang
mengajar di kondisi serba terbatas. Di SDN Cikawung ada dua guru
pegawai negeri sipil dan tiga sukarelawan. Udenda, salah seorang guru
sukarelawan, dibayar Rp 150.000 per tiga bulan atau sekitar Rp 50.000
per bulan yang diambil dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Medan menuju SDN Cikawung tidak jauh berbeda dengan SDN Ciroyom.
Udenda, sang guru sukarelawan, juga memilih tinggal di perumahan
sederhana milik sekolah.
Pada masa awal menjadi guru, Udenda hanya berdua dengan kepala
sekolah yang bertugas di sekolah itu. Kemudian, satu per satu datang
guru baru.
Sebagian besar guru sukarelawan tersebut belum berumah tangga dan
bahkan tidak berani memikirkan berkeluarga. "Mau dikasih makan apa
keluarga saya nanti dengan gaji Rp 100.000?" ujar Udenda yang
sebelumnya selama dua tahun bekerja sebagai teknisi pendingin ruangan
di Jakarta.
Bagi Udenda, menjadi guru merupakan pengabdian. Dia belum tahu
sampai kapan bertahan menjadi guru sukarelawan. Yang jelas, saat ini,
dia tidak tega meninggalkan warga di Cikawung yang membutuhkan
pendidikan seperti anak-anak di daerah lain.
Muksin, Udenda, dan para guru lainnya bertahan menjadi guru
sukarelawan karena pengabdian, perhatian, dan keprihatinan terhadap
masa depan anak-anak di kampung terpencil.
Mereka rela berkorban dan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri demi masa depan anak-anak yang mereka cintai.

Sumber : Kompas