Senin, 09 Juni 2008

Kisah Penjual Kue Rangi

Sering kita berbicara tentang etos kerja, kadang orang menyangkut pautkan dengan kerja keras. Namun dibalik hal tersebut ada suatu makna terdalam dari sebuah etos kerja adalah pengabdian yang hanya mengharapkan keridhoan Alloh SWT.
kisah ini sangat baik untuk kita renungkan agar kita mampu meredefinisi arti dari etos kerja
selamat membaca mudah-mudahan kita mampu mengambil hikmahnya.

Menjemput Rizki Setengah jam menjelang adzan Dzuhur, dari
kejauhan mata saya menangkap sosok tua dengan pikulan yang membebani pundaknya.
Dari bentuk yang dipikulnya, saya hapal betul apa yang dijajakannya, penganan
langka yang menjadi kegemaran saya di masa kecil. Segera saya hampiri dan
benarlah, yang dijajakannya adalah kue rangi, terbuat dari sagu dan kelapa yang
setelah dimasak dibumbui gula merah yang dikentalkan.
Nikmat, pasti.

Satu yang paling khas dari penganan ini selain bentuknya yang kecil-kecil dan
murah, kebanyakan penjualnya adalah mereka yang sudah berusia lanjut.
"Tiga puluh tahun lebih bapak jualan kue rangi," akunya kepada saya
yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraan bisa menemukan jajanan masa kecil
ini. Sebab, sudah sangat langka penjual kue rangi ini, kalau pun ada sangat
sedikit yang masih menggunakan pikulan dan pemanggang yang menggunakan bara
arang sebagai pemanasnya.

Tiga jam setengah berkeliling, akunya, baru saya lah yang menghentikannya untuk
membeli kuenya. "Kenapa bapak tidak mangkal saja agar tidak terlalu lelah
berkeliling, " iba saya sambil menaksir usianya yang sudah di atas angka
enam puluh. "Saya nggak pernah tahu dimana Allah menurunkan rezeki, jadi
saya nggak bisa menunggu di satu tempat. Dan rezeki itu memang bukan ditunggu,
harus dijemput. Karena rezeki nggak ada yang nganterin," jawabnya panjang.

Ini yang saya maksud dengan keuntungan dari obrolan-obrolan ringan yang bagi
sebagian orang tidak menganggap penting berbicara dengan penjual kue murah
seperti Pak Murad ini. Kadang dari mereka lah pelajaran-pelajaran penting bisa
didapat. Beruntung saya bisa berbincang dengannya dan karenanya ia mengeluarkan
petuah yang saya tidak memintanya, tapi itu sungguh penuh makna.

"Setiap langkah kita dalam mencari rezeki ada yang menghitungnya, dan jika
kita ikhlas dengan semua langkah yang kadang tak menghasilkan apa pun itu, cuma
ada dua kemungkinan. Kalau tidak Allah mempertemukan kita dengan rezeki di
depan sana, biarkan ia menjadi tabungan amal kita nanti," lagi sebaris kalimat
meluncur deras meski parau terdengar suaranya.

"Tapi kan bapak kan sudah tua untuk terus menerus memikul dagangan
ini?" pancing saya, agar keluar terus untaian hikmahnya. Benarlah, ia
memperlihatkan bekas hitam di pundaknya yang mengeras, "Pundak ini, juga
tapak kaki yang pecah-pecah ini akan menjadi saksi di akhirat kelak bahwa saya
tak pernah menyerah menjemput rezeki."

Sudah semestinya isteri dan anak-anak yang dihidupinya dengan berjualan kue
rangi berbangga memiliki lelaki penjemput rezeki seperti Pak Murad. Tidak semua
orang memiliki bekas dari sebuah pengorbanan menjalani kerasnya tantangan dalam
menjemput rezeki. Tidak semua orang harus melalui jalan panjang, panas terik,
deras hujan dan bahkan tajamnya kerikil untuk membuka harapan esok pagi. Tidak
semua orang harus teramat sering menggigit jari menghitung hasil yang kadang
tak sebanding dengan deras peluh yang berkali-kali dibasuhnya sepanjang jalan.
Dan Pak Murad termasuk bagian dari yang tidak semua orang itu, yang Allah
takkan salah menjumlah semua langkahnya, tak mungkin terlupa menampung setiap
tetes peluhnya dan kemudian mengumpulkannya sebagai tabungan amal kebaikan.

***

Sewaktu kecil saya sering membeli kue rangi, tidak hanya karena nikmat rasanya
melainkan juga harganya pun murah. Sekarang ditambah lagi, kue rangi tak
sekadar nikmat dan murah, tapi Pak Murad pedagangnya membuat kue rangi itu
semakin lezat dengan kata-kata hikmahnya. Lagi pula saya tak perlu membayar
untuk setiap petuahnya itu.

2 komentar:

  1. mas ridwan, mbak dewi, bolehkah aku minta infor penjual kue rangi ini alamatnya dimana? makasih sebelumnya..

    BalasHapus
  2. hemm, nice info, kisah penjual sansie di parung juga perlu diangkat ke blog ini nih pak rdwan :D

    BalasHapus