Rabu, 31 Oktober 2007

Kisah Seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi

Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan.

Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung.

Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim.Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip satu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya.

Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi.

Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya juga sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan selesaikan kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang beberapa kejadian yg kami alami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada istri. Bahwa yg penting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah.

Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga besar misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik-adik dan keluarga. Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung ke rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa memahami.

Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk.Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh.

Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka.

Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan.

Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.

Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya.

Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalu saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak.

Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak adilnyakalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain.

Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunyaanggota tim yang menolak dan memintaagar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima.

Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan.

Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabat dan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, “Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik.” Saya katakan, “Tidak munafik bagaimana Pak? Selama ini saya insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi” Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak sayaadalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat.Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kacuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap.

Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau.

Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur.

Ia lalu mengatakan, “Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai,” katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplo itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan.

Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi.

Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, “Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun perkataan kalian.” Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang.

Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir.

Saat itu persis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun.

Saya mau bcara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahu a’lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas. Alhamdulillah.

Adalagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana?

Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, “Kenapa tidak bilang-bilang” Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu.
Alhamdulillah.

Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru.

Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa.

Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, “Uang setan ya dimakan hantu.”

Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali.

Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu.

Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya memberi uang hari Jum’at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jum’atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga.

Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur’an. Tetapi mereka sulit berubah. Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan.

Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN.

Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara.

Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takut menggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca) .

Sumber: (Majalah Tarbawi Edisi 111 Th. 7/Jumadal Ula 1426 H/23 Juni 2005)

Senin, 29 Oktober 2007

KENAPA INDONESIA MASIH TERPURUK

APA sih yang kurang dari Indonesia?. Alamnya, kaya dan indah. Penduduknya, banyak dan tahan menderita. Orang cerdik cendikia-nya cukup bisa diandalkan. Kebudayaannya, plural dan nyeni. Masa lalunya adalah sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Agama-agamanya, galibya, hidup berdampingan secara damai. Apa yang kurang?.

Kalau dikatakan; sejarah Indonesia merdeka masih terlalu pendek karena baru berusia 61 tahun, bukankah pada tahun 1945 Jepang luluh lantak?. Bukankah pada masa perang dunia kedua itu, Jerman kalah dan terbelah?. Bukankah Korea Selatan masih belum muncul ke permukaan?. Bukankah Malaysia masih belum ‘apa-apa’?. Bukankah ketika itu, Indonesia tidak jauh beda dengan China dan India?.

Tetapi kenapa kini Jerman menjadi petinggi ekonomi di Eropa?. Kenapa kini Jepang masuk jajaran negara dengan per kapita tertinggi di dunia?. Kenapa Korea Selatan sudah berada di urutan terkemuka produsen teknologi dunia?. Kenapa Malaysia merasa sah mengklaim diri sebagai ‘Truly Asia’?. Kenapa India menjadi negara besar dengan sumber daya manusia, nuklir dan ekonomi yang siap berkompetisi di dunia?. Kenapa China menjadi negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia dan diramalkan bakal menyalip Amerika pada 2030 nanti?. Kenapa mereka lari tunggang-langgang mengejar kemajuan dan kita masih jalan di tempat?. Ada apa dengan kita?.

BUKANKAH pada tahun 1945 itu, ketika para founding father memproklamirkan kemerdekaan, cita-cita sudah dibentang; pintu gerbang sudah dibuka dan jembatan emas ke masa depan sudah dibangun?. Bukankah cita-cita itu begitu indah, bahkan buat sekedar dibayangkan sekalipun: "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...".

Dimana sekarang perlindungan negara terhadap rakyat Indonesia, ketika tenaga kerja Indonesia di luar negeri banyak yang terancam tindak kekerasan tanpa perlindungan hukum?. Dimana sekarang pemenuhan kesejahteraan umum, ketika kemiskinan dan pengangguran masih menjadi dua ancaman terbesar kelangsungan hidup puluhan juta rakyat Indonesia?. Dimana sekarang pencerdasan kehidupan bangsa, ketika pendidikan masih mahal dan kenyataan anggaran pendidikan yang inkonstitusional?. Dimana sekarang posisi tawar Indonesia di dunia internasional ketika hutang sudah lebih dari seribu trilyun rupiah dan banyak kekayaan alam dalam negeri yang ‘dijual’ ke pihak asing?. Kemana mimpi-mimpi indah itu menguap?.

Ternyata, mimpi adalah satu hal dan kenyataan adalah hal lain. Hegel memang pernah mengatakan kalau ide bisa merubah sejarah. Sejarah, menurutnya, digerakkan oleh akal universal; akal mutlak yang lahir sebagai ujung sintesa dari dialektika panjang yang melahirkan perubahan-perubahan sejarah yang bergerak menuju kesempurnaannya. Dialektika Hegel ujung-ujungnya melahirkan bangsa Jerman sebagai puncak sejarah. Bangsa Jerman mendapatkan bahan bakar yang tak habis-habisnya untuk bergerak meraih kebesarannya dari filsafat Hegel.

Tafsir sejarah Hegel ternyata kemudian dipatahkan oleh Karl Marx. Sejarah, menurutnya, tidak digerakkan oleh dunia ide, tetapi oleh materi. Ketika Hegel melihat bahwa dunia materi adalah bayang-bayang apa yang sesungguhnya bergerak di dunia ide, Marx melihat bahwa dunia ide -dengan segala apa yang disebutnya supra struktur-adalah refleksi semata dari dunia materi. Yang menggerakkan sejarah adalah materi, alat produksi dan pertarungan kelas. Marx yang melihat Hegel berdiri dengan kepala di bawah telah menjadikannya berdiri di atas kedua kakinya. Dua pertiga wajah dunia pernah diwarnai tafsir sejarah Marx, sampai glassnot dan prestroika-nya Gorbachev menandai akhir kejayaan Uni Soviet sebagai negara ‘mbah’-nya marxisme.

Sementara itu, Arnold Toynbee melihat sejarah sebagai satuan peradaban yang mengalami fase lahir, berkembang dan kemudian mati. Peradaban, menurutnya, lahir dari proses mengatasi tantangan (at-tahaddi wa al-istijabah). Banyak peradaban yang layu sebelum berkembang karena tidak mampu mengatasi tantangan-tantangan. Kemajuan peradaban ditentukan oleh seberapa banyak tantangan yang berhasil di taklukkan, baik itu tantangan alam (cuaca, bencana dst) maupun tantangan manusia (perang dst). Segala kemajuan di dunia pengetahuan dan teknik adalah wujud nyata dari kemampuan mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Begitu sebuah komunitas berhenti berjuang mengatasi tantangan, artinya ia sedang bersiap-siap menggali liang kuburannya sendiri.

Dalam proses tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban, empat titik penting yang diperhatikan Toynbee adalah : 1. Aktualisasi diri. Bahwa langkah demi langkah yang diayukan untuk kemajuan peradaban adalah bentuk aktualisasi diri individu-individu merdeka pembentuk komunitas dimana peradaban itu tumbuh dan berkembang. 2. Interaksi individu dan masyarakat. Bahwa masyarakat adalah kerangka bagi hubungan interdependensi individu-individu untuk berkarya bersama. Dalam hal ini, tidak ada dualisme bahwa yang secara hakiki ada hanyalah individu saja (individualisme) atau masyarakat saja (sosialisme). 3. Berhenti dan kembali bergerak. Gerak maju peradaban bukanlah gerak acak yang tidak beraturan. Ia terdiri dari sebentuk serial diam dan bergerak: diam untuk merenung, mencari inspirasi, memeriksa keberhasilan-kegagalan; bergerak untuk kembali bekerja, mencipta dan berjuang mengatasi tantangan dengan darah dan semangat baru. 4. Keragaman dalam kesatuan. Peradaban yang bergerak maju terdiri dari satuan yang menaungi keragaman. Seperti benih yang ditanam petani. Ia ditanam di satu ladang, dari satu jenis, oleh petani yang sama, namun setiap benih memiliki eksistensi, keunikan dan bentuk yang berbeda ketika dipanen.

Kalau tafsir Hegel dipatahkan Marx dan tafsir marxisme-sosialisme ternyata terbantahkan oleh keruntuhannya berbarengan dengan berakhirnya perang dingin, tafsir peradaban-nya Toynbee setidaknya menghadapi dua kritik mendasar: 1. pengamatan lebih rinci terhadap kehidupan sebuah peradaban membuktikan bahwa ia bukanlah satuan bulat yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Boleh jadi, dalam satu bagian sebuah komunitas mengalami kemunduran namun pada bagian yang lain ia mencatat kemajuan. 2. Toynbee tidak setia dengan metodologi induktif yang ditetapkannya sendiri. Ia hanya mengambil fakta-fakta yang mendukung asumsinya; sesuatu yang menjadikan teorinya mengidap cacat metodologis.

DALAM bukunya : Tafsir Islam terhadap Sejarah (at-Tafsir al-Islami li at-Tarikh), Dr. Imaduddin Khalil, intelektual Irak, mencoba menampilkan pandangan al-Qur’an terhadap sejarah manusia: kelahirannya, tabiatnya, faktor maju-mundurnya dan rotasinya di lintasan kehidupan manusia.

Dua kaki peradaban versi al-Qur’an adalah reformasi (ishlah) dan memerangi kerusakan (mujabahat al-fasad) dalam seluruh level dan penampakannya. Dua pilar ini bergerak dalam relasi seimbang dan harmonis antara segi tiga : Tuhan, manusia dan alam semesta. Relasi manusia dengan Tuhan diwakili kata kunci penugasan, keimanan, penghambaan, kemerdekaan diri dan tanggung jawab (istikhlaf, iman, ibadah, huriyah, mas’uliyah); bahwa manusia diturunkan ke muka bumi ini untuk memakmurkan dan membangun peradaban dengan kemerdekaan diri yang disertai tanggung jawab dalam hubungan keimanan dan penghambaan yang tiada putus-putusnya dengan Tuhan. Relasi manusia dengan alam dimanifestasikan oleh kata-kata kunci pendayagunaan akal dan keseimbangan (i’mal al’aql, at-tawazun); bahwa oleh karena manusia diberikan akal, ia wajib mendayagunakannya untuk menemukan rumus-rumus alam semesta dari materi yang paling kecil (mikrokosmos) sampai yang paling besar (makrokosmos) dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Relasi Tuhan dengan alam terwakili oleh kata kunci penundukan (taskhir); bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia.

Ketika sebuah komunitas memiliki keinginan kuat dan kerja keras untuk menerapkan konsep ini, maka ia akan meraih kemajuan demi kemajuan. Sebab lingkup kemerdekaan dan tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia tetap berada dalam jangkuan kemampuan manusia, asal ia serius bekerja keras dengan tidak mengenal kata menyerah. Kemajuan yang dicapai lantas bukanlah kemajuan yang terbatas -sebatas kemajuan material misalnya, seperti kemajuan dunia barat saat ini-- tetapi kemajuan yang utuh, material dan nilai sekaligus.

MENJADI terjawab kemudian, apa yang kurang dari bangsa kita. Reformasi yang digulirkan sejak 1998, kurang total dan belum habis-habisan. Kerusakan dan perusakan kerap dibiarkan. Keimanan dan penghambaan kepada Tuhan tidak dihayati dan diamalkan dalam kehidupan. Etos kerja masih kedodoran. Alam tidak dirawat dalam keseimbangan. Ilmu pengetahuan dan teknologi belum kuat ditanamkan. Alih-alih merasa krisis, kaum elit yang mestinya memimpin perubahan ke arah perbaikan, malah hidup dalam gelimang kemewahan dengan gaji besar yang menginjak rasa keadilan. Apakah kita hendak menjadi bangsa yang layu sebelum berkembang?.

Inspirasi Peperangan Islam

Peperangan Islam yang terkenal adalah perang salib I dan II yang dipimpin oleh ksatria Islam Panglima Perang yang tangguh dan dicintai oleh Sang Penciptanya yaitu Shallahudin Al Ayubbi atau biasa dikenal dengan Sultan Salladin beliau adalah Panglima Perang yang adil dan bijaksana serta Humanis yang sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Demikian cuplikan ceritanya :

"Setelah shalat subuh tanggal 4 Juli 1187 pasukan Salahuddin mengepung posisi pasukan Salib. Begitu ketat pengepungan itu, sejarawan dari pasukan Salib menuliskan di dalam catatannya, “Bahkan kucing pun tidak akan dapat lolos dari jerat itu.” Ketika fajar menyingsing, serunai dari pasukan muslim berbunyi menandakan serbuan dimulai. Pasukan Salib yang terkepung menyerang dengan membabi-buta. Melihat pasukan Kristen menyerang, pasukan Salahuddin tidak membalas. Mereka malah membuka barisan mereka membentuk huruf “U” membiarkan pasukan Salib lewat. Begitu bukaan itu ditutup kembali, maka pasukan Salib itu menemukan ajal mereka.

Pasukan muslim sesudah itu melancarkan serangan bertubi-tubi menghabisi pasukan Kristen. Pasukan Salib memberikan perlawanan tanpa mampu berbicara, dan satu demi satu mereka dihabisi pedang pasukan Salahuddin. Ketika pertempuran masih berlangsung, sisa-sisa ksatira Salib berhimpun di sekitar kemah raja Guy. Putera Salahuddin ketika melihat sejumlah kecil pasukan Salib berhimpun di sekitar kemah Guy, berteriak memanggil ayahandanya bahwa kaum kafir telah dihabisi. Ayahandanya menjawab, selama kemah itu belum rebah perang belum dimenangkan, habisi mereka! Di dalam kemahnya Guy yang sedang gemetar memegang erat-erat Salib Suci-nya. Seorang prajurit muslim masuk dan menyerang himpunan ksatria Salib yang tersisa, dan tidak lama kemudian kemah itu rebah rata dengan tanah..

Para panglima dan komandan pasukan Salib yang masih hidup ditawan dan dikumpulkan di perkemahan Salahuddin. Seorang komandan pasukan muslim rupanya telah mendirikan sebuah kemah khusus untuk maksud itu. Prajurit rendahan Kristen dijadikan budak. Konon dicerirtakan, seorang prajurit muslim begitu banyak mendapat budak tawanan, ia menawarkan untuk menukar seorang tawanannya dengan sepasang sepatu. Terhadap ksatria Templar, Salahuddin tidak memberikan pengampunan, kecuali terhadap pimpinannya, Gerard de Ridefort. Setiap ksatria Templar dan Hospitaller dipaksa bertekuk lutut untuk kemudian dipancung oleh seorang algojo muslim
.

Di kemahnya Salahuddin membebaskan para pangeran yang tertawan dengan uang tebusan yang tinggi. Raja Guy dari Jerusalem yang kehausan dan ketakutan bertiarap di tanah memohon air. Salahuddin memberinya semangkok air dan Guy meminumnya tergopoh-gopoh. Guy menawarkan air itu kepada Reynald yang terus memandang ketika Guy minum. Salahuddin melihat keadaan itu segera bangkit dari tempat duduknya dan menendang mangkok air dari tangan pangeran Antiochia itu. Tradisi perang memang demikian. Bila sang pemenang mengizinkan seseorang minum air dari mangkok miliknya, hal itu menjadi isyarat bahwa nyawanya selamat. Tetapi rupanya tidak demikian halnya dengan Reynald. Keputusan hukuman mati baginya telah menjadi kenyataan.

Kemurkaan Salahuddin tidak terbendung, karena Reynald menghujat Nabi Muhammad, Junjungan kaum muslimin. Salahuddin menghunus pedangnya dan sekali tebas memotong salah satu lengan Reynald. Sebelum lengan yang jatuh itu mencapai tanah, seorang prajurit muslim menebas leher Reynald, sehingga kepala itu terlepas dari badannya. Pada saat itu Salahuddin menoleh kepada raja Guy dari Jerusalem dan berucap, “Jangan takut, tidak ada kebiasaan seorang raja membunuh raja.” Raja Guy dibebaskan setahun kemudian pada tahun 1188 dari penjara Nablus sebagai seseorang yang sudah kehilangan harapan hidup, begitu juga para ksatria Templar dan Salib yang dikalahkan di Palagan Hattin. Sultan Salahuddin Al Ayyubi meninggal di Damsyik pada usia 55 tahun. Adiknya Sultan Al Malikul Adilsyah Al Ayyubi berhasil menyatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil Islam yang ada untuk menghadapi bala-tentara Salib".

Sebelumnya para penduduk dan bala tentara Muslim sangat kehilangan motivasi saat kehilangan Masjidil Aqsa, oleh karena itu Sang Panglima Perang Shallahudin Al Ayyubi mengadakan sayembara menciptakan pujian-pujian bagi Alloh dan Rosulullah berupa Shalawat atau mars Islami. Maka sayembara tsb dimenangkan oleh Ahmad Al-Barzanzi yang saat ini dikenal dengan shalawat Barzanzi yang dikumandangkan saat Maulud Nabi Muhammad SAW.

Dengan adanya Barzanzi ini secara signifikan meningkatkan semangat/Ghiroh para pejuang Islam, maka terbakarlah ghiroh Islami ini ditunjang lagi denga Figur sang Panglima Perang yang bersahaja lagi bertaqwa semakin bertambahlah semangat keislaman mereka untuk terlepas dari penjajahan kaum Crusader.

Kisah inilah yang patut dijadikan inspirasi bagi kaum Muslimin khususnya di Indonesia bahwa kita harus bangkit dari keterpurukan ini dengan bekerja keras tanpa melupakan berdoa dan berniat menuju yang terbaik bagi kehidupan kita bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk melepaskan diri dari ujian dan cobaan yang tersurat dalam Surah AlQuran " Alloh tidak akan menguji diluar kemampuan hambanya".

ayo saudaraku bangkitlah dari keterpurukan ini :

- Saudaraku Penjual Bakso buatlah bakso dengan jujur dan enak tanpa menggunakan Boraks

- Saudaraku kondektur dan sopir bus patuhilah aturan lalu lintas dan jagalah keselamatan penumpang dan diri sendiri.

- Saudaraku para PNS bekerjalah yang jujur dengan loyalitas yang tinggi untuk negaramu tanpa KKN

- Saudaraku Karyawan Swasta bekerjalah dengan etos kerja yang tinggi dan rajin

- saudaraku Pelajar dan mahasiswa belajarlah dengan giat dan rajin kembangkan potensimu adikku agar ketika lulus engkau dapat memiliki kompetensi yang siap pakai.

- Saudaraku yang masih menganggur pantang menyerah tetaplah mencari pekerjaan atau ciptakan lapangan pekerjaan dan jangan lupa berdoa.

semoga niat suci ini senantiasa mendapat barokah dari Alloh SWT dan sedikit-sedikit dapat mengangkat kita dari keterpurukan ini. Amin.

Rabu, 10 Oktober 2007

Ridwan Sekeluarga mengucapkan;

TAQOBALLOHU MINNA HUAMINKUM MINAL AIDIN WAL FAIZIN

Mohon maaf Lahir dan Bathin

Met Idul Fitri1428 H