Oleh : Ridwan Hardiawan S.Psi
Setiap anak yang dilahirkan bagaikan kertas putih begitu yang diutarakan oleh seorang filsuf terkenal John Locke, sedang jauh sebelum John Locke mengutarakannya, Islam telah menyuratkan dalam ajarannya bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah suci orangtuanyalah membuatnya menjadi nasrani atau majusi. Bahwa setiap orangtua pasti berharap keturunannya menjadi yang baik bahkan harus melebihi mereka sehingga banyak orangtua menerapkan sesuatu nilai-nilai atau norma-norma dan pola asuh agar anaknya menjadi apa yang mereka harapkan.
Seiring dengan dengan perkembangannya bahwa mendidik anak bukanlah hal yang mudah, tetapi adalah suatu ujian dan cobaan, banyak literatur yang tidak ada habis-habisnya mengupas tentang cara mendidik anak, hal ini merupakan salah satu ciri bahwa mendidik anak adalah suatu ilmu yang harus dimiliki agar para orangtua, agar mereka mampu menjadi suri tauladan dan panutan bagi anak sehingga harapannya adalah memiliki anak yang berguna bagi bangsa, negara, orangtua dan agama.
Ada ungkapan bahwa,”the first teacher is your mother and the first leader is your father”, ungkapan disini menguatkan bahwa peranan orangtua dalam menyusun pola asuh yang baik membutuhkan kerja keras dan team work, bukan mengandalkan suatu pihak; sebagai contoh Ayah hanya mencari uang, mengasuh anak hanya tugas ibu saja, jadi kalau terjadi sesuatu sang ayah dapat menyalahkan istrinya.
Ada sebuah kisah nyata yang bukunya telah menjadi best-seller, berjudul Sheila. Dikisahkan bagaimana Sheila ketika kecil yang masih berumur 6 tahun senang menyakiti binatang dan kawannya. Ia pernah mencongkel mata ikan hidup-hidup, dan juga pernah menculik anak usia 3 tahun untuk dibakar. Sheila adalah seorang anak yang tidak mempunyai rasa empati, yaitu kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain. Sheila adalah anak yang dilahirkan oleh seorang gadis berusia 14 tahun yang memperlakukan Sheila dengan kasar. Bahkan ia pernah dibuang oleh ibunya di pinggir jalan, serta sering mendapatkan pukulan dari ayahnya.
Pola asuh ini banyak terjadi di Indonesia, kalau kita melihat di perempatan jalan atau lampu merah banyak anak dipaksa mengamen oleh orang tuanya, sedang orangtuanya nganggur akibatnya anak menjadi kurang kasih sayang karena masa kecilnya habis untuk hidup dijalan mencari uang, anak menjadi kurang kasih sayang dan menghabiskan waktunya di jalan sehingga anak menjadi liar, kasar dan tidak memiliki empati didirinya.
Alfred Adler mendefinisikan empati dengan kemampuan seseorang untuk “melihat dengan mata orang lain, mendengar dengan kuping orang lain, dan merasakan dengan hati orang lain”. Rasa kepedulian, kasih sayang, dan keinginan menolong sesama adalah bersumber dari adanya rasa empati pada diri seseorang. Seorang yang mempunyai rasa empati dapat merasakan penderitaan orang lain, binatang, atau makhluk hidup lainnya, sehingga timbul keinginan untuk dapat berbuat sesuatu untuk menolong atau meringankan penderitaan sesama makhluk hidup.
Orang yang mempunyai rasa empati tinggi biasanya dermawan, disenangi dalam pergaulan, mudah menyesuaikan diri, dan percaya diri. Bahkan hasil penelitian Gallo (1989) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara rasa empti dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta keberhasilan akademik.
Menumbuhkan rasa empati harus dimulai sejak kecil, mulai dari dalam keluarga dan sekolah. Lingkungan yang penuh cinta dan rasa aman adalah prasyarat penting bagi tumbuhnya empati pada anak. Seorang anak yang terbiasa menerima perlakuan kasar dari orang tuanya, akan keras hatinya sehingga cenderung tertutup rasa empatinya untuk merasakan penderitaan orang lain.
Menghardik dan memukul anak apabila berbuat salah akan menghambat rasa empati, Karena anak akan cenderung membela dirinya, sehingga hatinya akan mengkerut. Hati yang mengkerut dan mengeras adalah hati yang marah dan dendam. Tetapi dengan mengalihkan anak untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain akibat tindakannya yang salah, akan meluluhkan hatinya, sehingga hatinya menjadi lapang. Hati yang lapang adalah hati yang penuh kasih sayang dan cinta.
Maka, prasyarat untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan empati kepada anak adalah dengan memberikan cinta dan kasih sayang sebesar-bearnya kepada anak sejak kecil. Selain cinta dan rasa aman, orang tua dan guru perlu mengajarkan anak untuk menempatkan dirinya pada orang lain.
Peran sekolah juga tidak kalah pentingnya untuk membangun rasa empati anak. Misalnya, dengan tersedianya kurikulum khusus yang mengajarkan murid-murid rasa empati, akan mengurangi tingkat pelecehan antar kawan, perkelahian, dan kekerasan di sekolah. Apabila sejak kecil anak-anak sudah terbiasa untuk “mendengar, melihat, dan merasakan” dengan perspektif orang lain, maka jangankan menyakiti dan merugikan orang lain, tanaman pun tidak mau mereka sakiti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar